Ilustrasi: Feri Usmawan/Okezone) SEJAK
dua tahun ini aku menyukai bulan Januari. Bukan karena dibulan ini ada
pergantian tahun yang selalu dirayakan dengan pesta meriah dan kembang api yang
membakar langit malam. Aku tidak suka pesta tapi aku senang menatap langit yang
dihiasi kembang api. Tapi itu bukan alasan kuat untuk menyukai Januari.
Aku dilahirkan dibulan ini namun aku membencinya. Setiap kali memulai kalender baru, hatiku selalu diliputi rasa takut dan was-was. Menurut cerita ibu ketika aku dilahirkan, kampung dilanda kebanjiran. Bahkan klinik tempat pertamaku menghirup nafas di dunia juga ikut banjir walau hanya semata kaki. Kelahiranku tidak disambut dengan suka cita. Bapak dan kedua kakakku sibuk menyelamatkan harta benda ketimbang menyambutku. Tidak ada tetangga yang membesuk. Semua pada dipusingkan bagaimana agar harta tidak terbawa banjir dan urusan mengungsi.
Kalaupun ada sedikit kegembiraan saat banjir datang hanya ketika aku masih kecil. Air tergenang di mana-mana membuat kampungku menjadi kolam renang raksasa. Aku dengan suka cita bersama teman sebaya sibuk berenang di air yang kotor memakai ban bekas mobil. Kapan lagi bisa berenang dengan gratis, begitu yang ada dipikiranku saat itu. Tidak peduli kuman penyakit akan menempel dikulit, berenang dan bermain air sampai kulitku mengkerut atau ibu mengacungkan rotan menyuruhku berhenti.
Namanya juga anak-anak, aku tidak dibebani untuk mengemasi barang agar tidak terkena banjir. Juga tidak disuruh membersihkan sampah yang berserakan didalam rumah atau lumpur akibat kemasukan luapan air tak diundang. Bahkan ketika harus mengungsi, aku tetap bergembira. Aku merasa sedang kemping bersama warga sekampung. Tidur dalam tenda rame-rame, makan bersama dari dapur umum persis acara kemah pramuka. Tidak peduli dengan wajah kedua orangtuaku mendung seperti langit di bulan Januari atau gerutuan tentang bantuan yang sedikit dari pemerintah.
Menginjak usia sembilan tahun, kaki kananku mendadak lumpuh dan layu. Tidak bisa menyangga tubuhku lagi. Bahkan dibawa berjalan pun harus diseret. Kata dokter puskesmas aku terserang polio. Sejak itu aku membenci bulan Januari. Aku tidak bisa berenang di kolam raksasa saat air menggenangi kampung. Aku menjadi beban untuk bapak dan kedua kakak laki-lakiku saat harus mengungsi. Mereka terpaksa harus menggendong atau mendukung untuk mengevakuasi dari rumah yang hampir tenggelam.
Polio juga membuatku berhenti sekolah. Aku tidak tahan dengan ejekan dari teman-teman yang menghina kakiku. Setiap pulang sekolah aku selalu menangis sedih. Bukan kehendakku, kakiku menjadi lumpuh layu. Kalau boleh meminta, aku ingin kakiku normal seperti anak yang lain. Namun takdir berkehendak lain. Aku harus hidup dengan kaki yang harus diseret jalannya. Kecacatanku menjadi bahan olok-olok yang lucu bagi teman sekolahku. Walau guru sudah memarahi teman-teman yang doyan menghinaku, mereka tidak jera juga. Saat guru lengah, mereka terus mem-bully yang menghancurkan harga diri. Satu-satunya jalan untuk menghentikan penghinaan adalah dengan berhenti sekolah.
Untuk mengisi waktu, aku belajar menjahit pada ibu yang memang seorang tukang jahit. Aku tidak mungkin jadi dokter atau pns, maka tukang jahit satu-satunya pilihan agar aku bisa mandiri kelak. Profesi ini juga tidak mengharuskanku keluar rumah. Aku malas dan malu harus bertemu dengan orang asing. Tatapan kasihan atau menghina selalu kuterima.
Polio membuatku jadi beban bapak dan kedua kakak laki-lakiku saat banjir datang. Mereka harus menggendong atau mendukung untuk mengevakuasi dari rumah yang hampir tenggelam. Udara dingin dan lembab membuat kaki kananku semakin ngilu untuk digerakkan. Januari, puncaknya musim penghujan sungguh menyiksaku!
Aku juga tidak nyaman berada di pengungsian. Bercampur baur dengan banyak manusia yang beragam watak dan sifatnya membuat aku harus mengontrol emosi dengan ketat. Amarah gampang sekali tersulut. Mungkin karena rasa lelah, capek dan putus asa bercampur aduk membuat kesabaran makin menipis. Belum lagi makanan di pengungsian yang selalu kurang atau telat datang, tidur yang tak bisa nyenyak karena bayi dan anak kecil yang sibuk menangis di malam hari karena kedinginan dan kelaparan, saling berebut menerima bantuan menjadi cerita suram di pengungsian.
Bertahan di rumah yang kebanjiran juga bukan pilihan. Saat malam harus bergelap-gelapan karena tidak ada aliran listrik. PLN sengaja memutus aliran listrik ke daerah yang tergenang banjir biar tidak terjadi korsleting. Tidak ada akses informasi. Tidak bisa kemana-mana kecuali memakai perahu. Ditambah lagi susahnya mendapatkan bahan makanan untuk mengganjal perut. Betul-betul simalakama.
Pernah ada kerabat yang datang dari kampung bertanya kepada bapak mengapa kami tidak pindah saja dari daerah ini. "Sudah tahu tiap tahun kebanjiran kenapa tidak pindah ke tempat lain saja yang bebas banjir?"
Bapak menghela nafas panjang, "Ini Jakarta. Harga tanah di sini lebih tinggi dari harga emas. Harga tanah di daerah yang langganan banjir saja sudah mencekik leher, apalagi di kawasan yang katanya bebas banjir. Kami tetap bertahan disini karena tidak ada pilihan lain!"ujar Bapak dengan nada prihatin.
Rumah bertingkat dua di kampungku bukan barang mewah tapi lebih sebuah kebutuhan. Untuk menyelamatkan perabotan dan nyawa. Ketika hujan turun dengan deras, bapak dan kedua kakakku sibuk mengangkuti perabotan ke lantai dua. Bersiap-siap menghadapi banjir yang sewaktu-waktu bisa datang kapan saja.
Saat banjir besar dua tahun yang lalu, aku mulai menyukai bulan Januari. Aku ingat dengan detail peristiwa yang menjadi latar belakangnya.
Banjir hampir menenggelamkan kediamanku, air yang masuk tingginya lebih dari dua meter, aku dan ibu memilih bertahan di lantai dua. Sementara bapak yang menjabat sebagai ketua RT disibukkan mengevakuasi warga. Bapak tahu bahwa aku dan ibu tidak nyaman berada dipengungsian.
"Ingat ya, kalau banjir sudah mencapai lantai dua, kalian harus mengungsi!"tegas bapak. "Nanti akan Bapak jemput!"
Aku mengiyakan ucapan bapak. Bertahan di rumah yang dikepung banjir bukan karena takut meninggalkan harta benda. Tidak ada barang berharga di rumah ini. Paling juga mesin jahit merk singer yang baru ku beli sebulan yang lalu. Mesin jahit itu barang pertama kali yang diselamatkan bapak. Beliau tidak ingin aku kehilangan mata pencarianku. Sejak mengidap hipertensi dan penglihatannya berkurang, ibu tidak menerima jahitan lagi. Semua langganannya dialihkan kepadaku.
Lilin menjadi penerang saat malam tiba. Dingin, lembap dan sepi yang mencekam membuatku terus memeluk erat ibu. Untuk mengisi perut, kami mengandalkan mie instan. Namun ketika gas habis dan persediaan air bersih menipis, aku dan ibu menjadi panik. Sementara Bapak tidak kunjung datang. Tidak tahu bagaimana menghubungi bapak karena tidak ada sinyal di HP.
Aku dan ibu harus berpuasa. Tidak ada lagi yang bisa dimakan dan diminum dirumah ini. Doa-doa terus didaraskan agar bapak cepat datang menolong. Sepertinya doaku tertahan dilangit, bapak tidak juga menampakkan batang hidungnya. Airmata sudah tumpah di pipi. Panik, sedih, kedinginan serta lapar yang mendera membaur jadi satu memunculkan putus asa. Di saat aku hampir kehilangan harapan, Allah mengirimkan pertolongannya. Petugas dari Basarnas yang menyisir perkampungan menemukan kami yang lagi meringkuk kedinginan.
"Cepat pakai jaket ini biar hangat,"ujar seorang petugas berambut ikal agak gondrong. Ia melepaskan jaket yang dipakainya dan menyerahkannya kepadaku.
Dibantu ibu, aku langsung kenakan jaket yang diberikannya. Petugas Basarnas itu kemudian memapah ibu untuk menaiki perahu karet. Masih sempat aku mendengar ibu yang memohon kepada petugas untuk membopongku ke perahu.
Petugas berambut gondrong itu mendekatiku. "Adik manis, maaf ya aku harus menggendongmu," tuturnya lembut.
Aku mengangguk mengiyakan. Entah mengapa melihat tatapan matanya yang tajam membuat badanku makin lemas. Jantungku berdegub kencang tak karuan iramanya. Ketika ia menggendongku, mukaku bersemu merah. Ada perasaan senang sekaligus malu. Aroma tubuhnya yang harum membuat darahku berdesir. Apakah ini yang disebut cinta pada pandangan pertama?
Walau umurku sudah menginjak angka tujuh belas tahun namun belum pernah aku sedekat ini dengan seorang lelaki selain dengan bapak dan kakakku. Kakiku yang cacat membuatku menutup diri dari pergaulan. Aku takut mendapat ejekan dan hinaan seperti masa dulu di sekolah. Lebih aman aku berada di rumah menunggu pelanggan yang datang membawa jahitan. Aku tidak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta dengan lawan jenis. Berdasarkan novel-novel romantis yang sering kubaca, apa yang kualami menunjukkan gejala orang jatuh cinta. Sungguh aneh jatuh cinta ditengah suasana bencana.
Seperti sebuah kebetulan, di dalam perahu karet aku duduk berdampingan dengannya. Jantung makin tak karuan bunyinya. Aku hanya bisa menunduk sambil sesekali mencuri pandang ke arahnya. Dari raut mukanya, kutaksir umurnya sebaya dengan kakak sulungku sekitar dua puluh lima tahunan. Di dagunya tumbuh rambut halus yang menambah kegagahannya.
"Kenapa kalian tidak mengungsi?"tanyanya.
Aku tergagap, bingung untuk mencari jawaban. Untung ibu cepat mengambil alih menjawab pertanyaannya.
"Maunya mengungsi tapi suami belum juga datang menjemput. Mudah-mudahan suami saya tidak apa-apa,"ujar ibu.
"Dari kemarin memang warga sipil dilarang mendekat. Soalnya hujan sangat deras membuat arus air menjadi kencang. Hanya petugas saja yang boleh mengevakuasi warga yang masih terjebak dalam rumahnya,"ujarnya dengan suara bariton yang terdengar sangat merdu menyapa telingaku. "Kalau boleh tahu siapa nama suami Ibu?"
"Santoso. Dia ketua RT di sini,"kata ibu tak bisa menutupi kebanggaannya pada bapak.
"Oh Pak Santoso! Beliau sangat membantu kami dalam mengevakuasi warga. Beliau juga yang meminta tolong kepada kami agar menyelamatkan istri dan anak perempuannya yang masih terjebak dalam rumah. Tak disangka rupanya Ibu dan adik ini orang yang dimaksud Pak Sa-.ntoso," ucapnya gembira.
Ingin aku ikutan nimbrung bercakap-cakap dengannya. Rasa gugup membuat lidahku jadi kelu. Aku juga bingung harus memulai percakapan darimana. Setelah sepuluh menit naik perahu karet akhirnya kami sampai di pengungsian. Bapak menyambut kami dengan sangat gembira. Aku dan ibu langsung dipeluk dan diciuminya.
"Syukurlah kalian ditemukan. Bapak sangat mencemaskan keadaan kalian. Petugas melarang bapak untuk melakukan penyelamatan," Bapak dengan penuh syukur.
Aku dan ibu langsung dipeluk dan dihujani ciuman oleh bapak. Aku melepaskan diri dari pelukan bapak. Mataku mencari petugas yang berambut gondrong. Ternyata dia sedang duduk dilantai sambil memegang cangkir yang mengepulkan asap. Dengan langkah tertatih aku mendekatinya.
"Kak, jaketnya...."ujarku sambil memandang lantai semen. Aku tak berani bersitatap dengannya.
"Pakailah dulu. Kamu kelihatannya masih kedinginan."
"Bagaimana aku akan mengembalikannya?" Ingin sekali aku menanyakan nama dan alamat rumahnya, tapi pertanyaan itu hanya nyangkut diujung lidah tak kuasa kukeluarkan.
"Tenang saja. Selama korupsi di negeri ini masih meraja lela dan hukum tidak bisa jadi penglima, tahun depan pasti banjir dan kita bisa bertemu lagi," katanya sambil mengedipkan sebelah matanya. Dan itu membuat jantungku mau copot.
Perkataannya benar, tahun berikutnya banjir kembali datang. Aku dilanda perasaan wa-was dan gugup. Bukan karena takut banjir akan menenggelamkan rumah. Aku takut tidak bertemu lagi dengan petugas berambut gondrong yang tidak sempat kutahu siapa namanya.
Ibu yang trauma dengan kejadian tahun kemarin, begitu banjir mencapai ventilasi rumah, beliau langsung mengajakku mengungsi. Dengan berbagai alasan aku berhasil membujuk ibu menunda untuk mengungsi. Aku berharap petugas dari Basarnas yang berambut gondrong kembali menyelamatkanku. Kali ini aku sudah menyiapkan keberanian untuk menanyakan namanya. Jaket yang dipinjamkannya tahun lalu sudah ku cuci dan setrika. Berkali-kali ku semprotkan minyak wangi agar ia merasa senang barang yang dipinjamkannya kurawat dengan apik.
Keberuntungan sepertinya berpihak padaku. Pemuda itu datang menyelamatkanku. Rambutnya makin gondrong. Kali ini aku tak perlu digendongnya. Dengan dipapahnya, aku menaiki perahu karet.
"Terima kasih,"gumamku tak jelas. Aku mengangsurkan bungkusan kepadanya.
"Apa ini?" Tanyanya heran sambil menerima bungkusan dariku.
"Jaket yang Kakak pinjamkan tahun kemarin padaku,"ujarku agak gugup.
"Kamu baik sekali, padahal aku sudah mengikhlaskannya. Kebetulan aku agak kedinginan jadi bisa langsung kupakai,"katanya ceria.
Aku hanya tersenyum kecil menutupi kebingungan mau ngomong apa lagi dengannya. Berbagai dialog yang sudah kususun langsung sirna ketika berhadapan langsung dengannya.
"Namaku Rian, siapa namamu?"ujarnya. Tangannya terulur dihadapanku.
"Dita!"
Nama yang sangat indah bisikku dalam hati. Mengetahui namanya membuat hati mekar oleh perasaan bahagia. Cuma sayang, sesampainya di posko pengungsian kami terpisah. Padahal aku masih ingin berlama-lama dengannya. Rian kembali bertugas mencari warga yang masih bertahan di rumah yang terendam banjir.
Tahun ini banjir datang lagi. Lebih parah dari tahun kemarin. Mungkin pengaruh cuaca yang sangat ekstrim. Banjir memberi kesempatan untuk bersua kembali dengan Rian. Kali ini aku bertekad untuk bertukar nomor HP biar bisa berkomunikasi. Tak lucu mengharap banjir terus datang hanya untuk bisa ketemu dengannya.
Di pengungsian, mataku jelalatan mencari sosoknya. Namun tidak juga kutemukan. Dengan sedikit keberanian, aku mendekati salah seorang petugas untuk menanyakan keberadaannya.
"Maaf, kenal dengan Kak Rian?"
"Rian gondrong?"
Aku mengangguk cepat. "Kenapa dia tidak kelihatan bertugas?"selidikku.
"Rian dikirim ke Manado."
"Ke..kenapa?"
"Sekarang ini bukan cuma Jakarta yang kebanjiran. Hampir semua daerah mengalami kebanjiran. Yang terparah adalah Manado yang diterjang banjir bandang. Bisa dibilang negeri ini darurat banjir. Rian ditugaskan ke Manado untuk membantu mengevakuasi korban yang masih banyak belum ditemukan."
Penjelasan tadi membuat hatiku dilanda banjir kesedihan dan kecewa. Namun aku teringat perkataannya,"Selama korupsi di negeri ini masih meraja lela dan hukum tidak bisa jadi panglima, tahun depan pasti banjir dan kita bisa bertemu lagi." Aku yakin bisa bertemu lagi dengannya tahun depan.
Aku dilahirkan dibulan ini namun aku membencinya. Setiap kali memulai kalender baru, hatiku selalu diliputi rasa takut dan was-was. Menurut cerita ibu ketika aku dilahirkan, kampung dilanda kebanjiran. Bahkan klinik tempat pertamaku menghirup nafas di dunia juga ikut banjir walau hanya semata kaki. Kelahiranku tidak disambut dengan suka cita. Bapak dan kedua kakakku sibuk menyelamatkan harta benda ketimbang menyambutku. Tidak ada tetangga yang membesuk. Semua pada dipusingkan bagaimana agar harta tidak terbawa banjir dan urusan mengungsi.
Kalaupun ada sedikit kegembiraan saat banjir datang hanya ketika aku masih kecil. Air tergenang di mana-mana membuat kampungku menjadi kolam renang raksasa. Aku dengan suka cita bersama teman sebaya sibuk berenang di air yang kotor memakai ban bekas mobil. Kapan lagi bisa berenang dengan gratis, begitu yang ada dipikiranku saat itu. Tidak peduli kuman penyakit akan menempel dikulit, berenang dan bermain air sampai kulitku mengkerut atau ibu mengacungkan rotan menyuruhku berhenti.
Namanya juga anak-anak, aku tidak dibebani untuk mengemasi barang agar tidak terkena banjir. Juga tidak disuruh membersihkan sampah yang berserakan didalam rumah atau lumpur akibat kemasukan luapan air tak diundang. Bahkan ketika harus mengungsi, aku tetap bergembira. Aku merasa sedang kemping bersama warga sekampung. Tidur dalam tenda rame-rame, makan bersama dari dapur umum persis acara kemah pramuka. Tidak peduli dengan wajah kedua orangtuaku mendung seperti langit di bulan Januari atau gerutuan tentang bantuan yang sedikit dari pemerintah.
Menginjak usia sembilan tahun, kaki kananku mendadak lumpuh dan layu. Tidak bisa menyangga tubuhku lagi. Bahkan dibawa berjalan pun harus diseret. Kata dokter puskesmas aku terserang polio. Sejak itu aku membenci bulan Januari. Aku tidak bisa berenang di kolam raksasa saat air menggenangi kampung. Aku menjadi beban untuk bapak dan kedua kakak laki-lakiku saat harus mengungsi. Mereka terpaksa harus menggendong atau mendukung untuk mengevakuasi dari rumah yang hampir tenggelam.
Polio juga membuatku berhenti sekolah. Aku tidak tahan dengan ejekan dari teman-teman yang menghina kakiku. Setiap pulang sekolah aku selalu menangis sedih. Bukan kehendakku, kakiku menjadi lumpuh layu. Kalau boleh meminta, aku ingin kakiku normal seperti anak yang lain. Namun takdir berkehendak lain. Aku harus hidup dengan kaki yang harus diseret jalannya. Kecacatanku menjadi bahan olok-olok yang lucu bagi teman sekolahku. Walau guru sudah memarahi teman-teman yang doyan menghinaku, mereka tidak jera juga. Saat guru lengah, mereka terus mem-bully yang menghancurkan harga diri. Satu-satunya jalan untuk menghentikan penghinaan adalah dengan berhenti sekolah.
Untuk mengisi waktu, aku belajar menjahit pada ibu yang memang seorang tukang jahit. Aku tidak mungkin jadi dokter atau pns, maka tukang jahit satu-satunya pilihan agar aku bisa mandiri kelak. Profesi ini juga tidak mengharuskanku keluar rumah. Aku malas dan malu harus bertemu dengan orang asing. Tatapan kasihan atau menghina selalu kuterima.
Polio membuatku jadi beban bapak dan kedua kakak laki-lakiku saat banjir datang. Mereka harus menggendong atau mendukung untuk mengevakuasi dari rumah yang hampir tenggelam. Udara dingin dan lembab membuat kaki kananku semakin ngilu untuk digerakkan. Januari, puncaknya musim penghujan sungguh menyiksaku!
Aku juga tidak nyaman berada di pengungsian. Bercampur baur dengan banyak manusia yang beragam watak dan sifatnya membuat aku harus mengontrol emosi dengan ketat. Amarah gampang sekali tersulut. Mungkin karena rasa lelah, capek dan putus asa bercampur aduk membuat kesabaran makin menipis. Belum lagi makanan di pengungsian yang selalu kurang atau telat datang, tidur yang tak bisa nyenyak karena bayi dan anak kecil yang sibuk menangis di malam hari karena kedinginan dan kelaparan, saling berebut menerima bantuan menjadi cerita suram di pengungsian.
Bertahan di rumah yang kebanjiran juga bukan pilihan. Saat malam harus bergelap-gelapan karena tidak ada aliran listrik. PLN sengaja memutus aliran listrik ke daerah yang tergenang banjir biar tidak terjadi korsleting. Tidak ada akses informasi. Tidak bisa kemana-mana kecuali memakai perahu. Ditambah lagi susahnya mendapatkan bahan makanan untuk mengganjal perut. Betul-betul simalakama.
Pernah ada kerabat yang datang dari kampung bertanya kepada bapak mengapa kami tidak pindah saja dari daerah ini. "Sudah tahu tiap tahun kebanjiran kenapa tidak pindah ke tempat lain saja yang bebas banjir?"
Bapak menghela nafas panjang, "Ini Jakarta. Harga tanah di sini lebih tinggi dari harga emas. Harga tanah di daerah yang langganan banjir saja sudah mencekik leher, apalagi di kawasan yang katanya bebas banjir. Kami tetap bertahan disini karena tidak ada pilihan lain!"ujar Bapak dengan nada prihatin.
Rumah bertingkat dua di kampungku bukan barang mewah tapi lebih sebuah kebutuhan. Untuk menyelamatkan perabotan dan nyawa. Ketika hujan turun dengan deras, bapak dan kedua kakakku sibuk mengangkuti perabotan ke lantai dua. Bersiap-siap menghadapi banjir yang sewaktu-waktu bisa datang kapan saja.
Saat banjir besar dua tahun yang lalu, aku mulai menyukai bulan Januari. Aku ingat dengan detail peristiwa yang menjadi latar belakangnya.
Banjir hampir menenggelamkan kediamanku, air yang masuk tingginya lebih dari dua meter, aku dan ibu memilih bertahan di lantai dua. Sementara bapak yang menjabat sebagai ketua RT disibukkan mengevakuasi warga. Bapak tahu bahwa aku dan ibu tidak nyaman berada dipengungsian.
"Ingat ya, kalau banjir sudah mencapai lantai dua, kalian harus mengungsi!"tegas bapak. "Nanti akan Bapak jemput!"
Aku mengiyakan ucapan bapak. Bertahan di rumah yang dikepung banjir bukan karena takut meninggalkan harta benda. Tidak ada barang berharga di rumah ini. Paling juga mesin jahit merk singer yang baru ku beli sebulan yang lalu. Mesin jahit itu barang pertama kali yang diselamatkan bapak. Beliau tidak ingin aku kehilangan mata pencarianku. Sejak mengidap hipertensi dan penglihatannya berkurang, ibu tidak menerima jahitan lagi. Semua langganannya dialihkan kepadaku.
Lilin menjadi penerang saat malam tiba. Dingin, lembap dan sepi yang mencekam membuatku terus memeluk erat ibu. Untuk mengisi perut, kami mengandalkan mie instan. Namun ketika gas habis dan persediaan air bersih menipis, aku dan ibu menjadi panik. Sementara Bapak tidak kunjung datang. Tidak tahu bagaimana menghubungi bapak karena tidak ada sinyal di HP.
Aku dan ibu harus berpuasa. Tidak ada lagi yang bisa dimakan dan diminum dirumah ini. Doa-doa terus didaraskan agar bapak cepat datang menolong. Sepertinya doaku tertahan dilangit, bapak tidak juga menampakkan batang hidungnya. Airmata sudah tumpah di pipi. Panik, sedih, kedinginan serta lapar yang mendera membaur jadi satu memunculkan putus asa. Di saat aku hampir kehilangan harapan, Allah mengirimkan pertolongannya. Petugas dari Basarnas yang menyisir perkampungan menemukan kami yang lagi meringkuk kedinginan.
"Cepat pakai jaket ini biar hangat,"ujar seorang petugas berambut ikal agak gondrong. Ia melepaskan jaket yang dipakainya dan menyerahkannya kepadaku.
Dibantu ibu, aku langsung kenakan jaket yang diberikannya. Petugas Basarnas itu kemudian memapah ibu untuk menaiki perahu karet. Masih sempat aku mendengar ibu yang memohon kepada petugas untuk membopongku ke perahu.
Petugas berambut gondrong itu mendekatiku. "Adik manis, maaf ya aku harus menggendongmu," tuturnya lembut.
Aku mengangguk mengiyakan. Entah mengapa melihat tatapan matanya yang tajam membuat badanku makin lemas. Jantungku berdegub kencang tak karuan iramanya. Ketika ia menggendongku, mukaku bersemu merah. Ada perasaan senang sekaligus malu. Aroma tubuhnya yang harum membuat darahku berdesir. Apakah ini yang disebut cinta pada pandangan pertama?
Walau umurku sudah menginjak angka tujuh belas tahun namun belum pernah aku sedekat ini dengan seorang lelaki selain dengan bapak dan kakakku. Kakiku yang cacat membuatku menutup diri dari pergaulan. Aku takut mendapat ejekan dan hinaan seperti masa dulu di sekolah. Lebih aman aku berada di rumah menunggu pelanggan yang datang membawa jahitan. Aku tidak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta dengan lawan jenis. Berdasarkan novel-novel romantis yang sering kubaca, apa yang kualami menunjukkan gejala orang jatuh cinta. Sungguh aneh jatuh cinta ditengah suasana bencana.
Seperti sebuah kebetulan, di dalam perahu karet aku duduk berdampingan dengannya. Jantung makin tak karuan bunyinya. Aku hanya bisa menunduk sambil sesekali mencuri pandang ke arahnya. Dari raut mukanya, kutaksir umurnya sebaya dengan kakak sulungku sekitar dua puluh lima tahunan. Di dagunya tumbuh rambut halus yang menambah kegagahannya.
"Kenapa kalian tidak mengungsi?"tanyanya.
Aku tergagap, bingung untuk mencari jawaban. Untung ibu cepat mengambil alih menjawab pertanyaannya.
"Maunya mengungsi tapi suami belum juga datang menjemput. Mudah-mudahan suami saya tidak apa-apa,"ujar ibu.
"Dari kemarin memang warga sipil dilarang mendekat. Soalnya hujan sangat deras membuat arus air menjadi kencang. Hanya petugas saja yang boleh mengevakuasi warga yang masih terjebak dalam rumahnya,"ujarnya dengan suara bariton yang terdengar sangat merdu menyapa telingaku. "Kalau boleh tahu siapa nama suami Ibu?"
"Santoso. Dia ketua RT di sini,"kata ibu tak bisa menutupi kebanggaannya pada bapak.
"Oh Pak Santoso! Beliau sangat membantu kami dalam mengevakuasi warga. Beliau juga yang meminta tolong kepada kami agar menyelamatkan istri dan anak perempuannya yang masih terjebak dalam rumah. Tak disangka rupanya Ibu dan adik ini orang yang dimaksud Pak Sa-.ntoso," ucapnya gembira.
Ingin aku ikutan nimbrung bercakap-cakap dengannya. Rasa gugup membuat lidahku jadi kelu. Aku juga bingung harus memulai percakapan darimana. Setelah sepuluh menit naik perahu karet akhirnya kami sampai di pengungsian. Bapak menyambut kami dengan sangat gembira. Aku dan ibu langsung dipeluk dan diciuminya.
"Syukurlah kalian ditemukan. Bapak sangat mencemaskan keadaan kalian. Petugas melarang bapak untuk melakukan penyelamatan," Bapak dengan penuh syukur.
Aku dan ibu langsung dipeluk dan dihujani ciuman oleh bapak. Aku melepaskan diri dari pelukan bapak. Mataku mencari petugas yang berambut gondrong. Ternyata dia sedang duduk dilantai sambil memegang cangkir yang mengepulkan asap. Dengan langkah tertatih aku mendekatinya.
"Kak, jaketnya...."ujarku sambil memandang lantai semen. Aku tak berani bersitatap dengannya.
"Pakailah dulu. Kamu kelihatannya masih kedinginan."
"Bagaimana aku akan mengembalikannya?" Ingin sekali aku menanyakan nama dan alamat rumahnya, tapi pertanyaan itu hanya nyangkut diujung lidah tak kuasa kukeluarkan.
"Tenang saja. Selama korupsi di negeri ini masih meraja lela dan hukum tidak bisa jadi penglima, tahun depan pasti banjir dan kita bisa bertemu lagi," katanya sambil mengedipkan sebelah matanya. Dan itu membuat jantungku mau copot.
Perkataannya benar, tahun berikutnya banjir kembali datang. Aku dilanda perasaan wa-was dan gugup. Bukan karena takut banjir akan menenggelamkan rumah. Aku takut tidak bertemu lagi dengan petugas berambut gondrong yang tidak sempat kutahu siapa namanya.
Ibu yang trauma dengan kejadian tahun kemarin, begitu banjir mencapai ventilasi rumah, beliau langsung mengajakku mengungsi. Dengan berbagai alasan aku berhasil membujuk ibu menunda untuk mengungsi. Aku berharap petugas dari Basarnas yang berambut gondrong kembali menyelamatkanku. Kali ini aku sudah menyiapkan keberanian untuk menanyakan namanya. Jaket yang dipinjamkannya tahun lalu sudah ku cuci dan setrika. Berkali-kali ku semprotkan minyak wangi agar ia merasa senang barang yang dipinjamkannya kurawat dengan apik.
Keberuntungan sepertinya berpihak padaku. Pemuda itu datang menyelamatkanku. Rambutnya makin gondrong. Kali ini aku tak perlu digendongnya. Dengan dipapahnya, aku menaiki perahu karet.
"Terima kasih,"gumamku tak jelas. Aku mengangsurkan bungkusan kepadanya.
"Apa ini?" Tanyanya heran sambil menerima bungkusan dariku.
"Jaket yang Kakak pinjamkan tahun kemarin padaku,"ujarku agak gugup.
"Kamu baik sekali, padahal aku sudah mengikhlaskannya. Kebetulan aku agak kedinginan jadi bisa langsung kupakai,"katanya ceria.
Aku hanya tersenyum kecil menutupi kebingungan mau ngomong apa lagi dengannya. Berbagai dialog yang sudah kususun langsung sirna ketika berhadapan langsung dengannya.
"Namaku Rian, siapa namamu?"ujarnya. Tangannya terulur dihadapanku.
"Dita!"
Nama yang sangat indah bisikku dalam hati. Mengetahui namanya membuat hati mekar oleh perasaan bahagia. Cuma sayang, sesampainya di posko pengungsian kami terpisah. Padahal aku masih ingin berlama-lama dengannya. Rian kembali bertugas mencari warga yang masih bertahan di rumah yang terendam banjir.
Tahun ini banjir datang lagi. Lebih parah dari tahun kemarin. Mungkin pengaruh cuaca yang sangat ekstrim. Banjir memberi kesempatan untuk bersua kembali dengan Rian. Kali ini aku bertekad untuk bertukar nomor HP biar bisa berkomunikasi. Tak lucu mengharap banjir terus datang hanya untuk bisa ketemu dengannya.
Di pengungsian, mataku jelalatan mencari sosoknya. Namun tidak juga kutemukan. Dengan sedikit keberanian, aku mendekati salah seorang petugas untuk menanyakan keberadaannya.
"Maaf, kenal dengan Kak Rian?"
"Rian gondrong?"
Aku mengangguk cepat. "Kenapa dia tidak kelihatan bertugas?"selidikku.
"Rian dikirim ke Manado."
"Ke..kenapa?"
"Sekarang ini bukan cuma Jakarta yang kebanjiran. Hampir semua daerah mengalami kebanjiran. Yang terparah adalah Manado yang diterjang banjir bandang. Bisa dibilang negeri ini darurat banjir. Rian ditugaskan ke Manado untuk membantu mengevakuasi korban yang masih banyak belum ditemukan."
Penjelasan tadi membuat hatiku dilanda banjir kesedihan dan kecewa. Namun aku teringat perkataannya,"Selama korupsi di negeri ini masih meraja lela dan hukum tidak bisa jadi panglima, tahun depan pasti banjir dan kita bisa bertemu lagi." Aku yakin bisa bertemu lagi dengannya tahun depan.
0 Komentar untuk "CERPEN GADIS PENUNGGU BANJIR"